Oleh: Adefira Lestrai
Setelah mengikuti sekolah nulis yang diselenggarakan PMII Komisariat
IKIP PGRI Semarang di PKM lantai 2 (24/10), entah mengapa saya
menyayangkan jika tidak menuliskan dalam sebuah catatan. Saya merasa
untuk wajib menuliskannya. Bagi saya,
menulis itu wajib seperti layaknya makan, minum, tidur, dan bernapas. Menulis apa saja, termasuk peristiwa kecil dalam kehidupan. Namun, saya tidak tahu dengan kebiasaanmu. Mungkin saja, bagimu menulis catatan ini hanyalah pekerjaan orang tak punya kerjaan. Hm.. Baiklah. Lupakan saja.
menulis itu wajib seperti layaknya makan, minum, tidur, dan bernapas. Menulis apa saja, termasuk peristiwa kecil dalam kehidupan. Namun, saya tidak tahu dengan kebiasaanmu. Mungkin saja, bagimu menulis catatan ini hanyalah pekerjaan orang tak punya kerjaan. Hm.. Baiklah. Lupakan saja.
Sore kemarin,
saya merasa beruntung bisa datang mengikuti kegiatan tersebut. Apalagi
menjadi moderator. Adalah kebanggaan tersendiri bagi saya karena saya
berkesempatan untuk bersanding dengan Mas Zulfa selaku pembicara, juga
seorang penulis yang tulisannya kerap muncul di media. Hm… saya kagum
padanya. Keren sekali ya? Bagaimana sih Mas trik supaya tulisan bisa dimuat di media? Hehe.
Kembali
ke cerita siang menuju sore itu. Saya menaruh empat jempol kepada Aklis
selaku PJ Pers dan Jurnalistik. Meskipun mengalami sedikit kendala di
tangan kirinya, ia masih bersemangat menyelenggarakan acara. Sekolah
nulis yang dimulai pukul 13.00 hingga 15.00 itu berlangsung lancar. Yah,
meskipun peserta yang datang kurang dari 20 orang.
Sebelum
Mas Zulfa menyampaikan pernyataan dari pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dari sahabat/sahabati, beliau dianjurkan untuk mengisi biodata
terlebih dahulu. Baru setelah torehan pena mewakili jawaban atas
pertanyaan yang ada di kertas ukuran A4 itu, saya persilakan beliau
untuk menyampaikan pengalaman menulisnya.
Pertanyaan
pertama yang dilontarkan Mas Zulfa ialah, “Mengapa kamu datang kemari?”
Sebuah pertanyaan yang jawabnya tentu berbeda-beda. Mungkin karena
kengen pada ketum, Aklis, Sigit, atau pada sahabat/i lain. Mungkin ada
juga yang merasa terpaksa datang karena eman-eman, sudah bayar
kok tidak datang. Atau bahkan penasaran dengan sang pemateri sekolah
nulis. Semua peserta diam, termasuk saya. Beberapa menit berselang,
seorang sahabati angkat tangan.
“Saya ingin mengetahui cara menulis yang benar,” kata Isfi di sudut barisan bagian depan.
Mas
Zulfa tersenyum simpul. Ia menyuruh kami untuk memperhatikan tulisannya
yang di muat di Koran Muria pada 15 Oktober 2013 lalu, Kritivisme Vs Tanggung Jawab.
Di tengah penjelasannya menerangkan perihal hal tersebut pada Isfi, tiba-tiba Mega bertanya.
“Bagaimana sih , Mas, cara menghilangkan rasa kekurangpercayadirian dalam menulis?”
Seketika itu, beliau menjawab ada beberapa tips untuk mengatasi masalah itu, yaitu memfokuskan tema tulisan, disharingkan, dan
perbanyaklah membaca. Pertanyaan lain muncul dari Nurul. Ia menanyakan
perihal munculnya kebuntuannya menulis di tengah jalan yang menyebabkan
tulisan tidak tuntas alias menggantung. Dengan telaten, Mas Zulfa menyarankan untuk meninggalkan sejenak tulisan yang tengah digarap untuk merefreshkan pikiran,
keluar dulu dari tema dan cari referensi untuk memperkaya informasi.
Bisa juga dengan cara sebelum menulis alangkah baiknya membuat kerangka
karangan setelah menemukan ide lalu menentukan setting atau
letak tulisan yang pas (di awal, tengah, atau akhir). Sebenarnya untuk
menimbulkan semangat menulis agar terhindar dari keterpurukan tak bisa
menuntaskan tulisan, bisa dilakukan dengan membuat atau bergabung dengan
suatu komunitas. Hal itu memudahkan kita untuk terus berkarya, memicu
semangat diri.
Lalu, apa menulis itu berhubungan erat
dengan bakat? Jawabannya tentu tidak. Menulis bukan paketan gen yang
diwariskan dari orang tua. Menulis merupakan suatu kebiasan yang timbul
dari diri sendiri. Pun dengan lingkungan tempat seseorang itu biasa
bergaul.
Rupanya, setengah jam lagi pukul 14.30. sambil
menikmati jajanan yang saya beli di Pasar Langgar bersama ketum pagi
itu, tiba-tiba muncullah Widya dari balik pintu kaca. Setelah duduk
beberapa waktu, akhirnya gadis berkerudung putih itu (kalau tidak salah)
juga mengajukan pertanyaan.
“Mas, saya kok kesulitan mencari referensi waktu mau nulis. Giliran udah nemu
referensinya malah malas melanjutkan tulisan. Referensinya terlalu
banyak. Saya bingung,” Widya menautkan alis. Ia memang kelihatan
bingung.
“Referensinya banyak kok malah bingung?” begitu
Mas Zulfa menanggapi. “Untuk mengatasi kebingungan, pilihlah referensi
yang mendekati kebenaran. Kalau masih bingung juga, kamu tinggal cari
Undang-Undang yang berhubungan dengan tema yang sedang kamu tulis.”
Ada
hal lain yang jauh lebih penting dari sekian banyak uraian mahasiswa
IAIN Walisongo itu. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat
menulis, yaitu; MOTIVASI, KEMAUAN, DARIMANA, CARA MENULIS, dan LAKUKAN.
MOTIVASI, adanya motivasi untuk menulis. KEMAUAN atau keinginan untuk
belajar menulis. DARIMANA, mengacu darimana ide itu muncul lalu untuk
mendukung keakuratan ide itu lakukanlah kegiatan membaca, kemudian tulis
dan diskusikan. CARA MENULIS, perhatikan cara menulis yang benar mulai
dari landasan teori, permasalahan atau tokoh, analisa, dan pernyataan
atau solusi. Dan yang terpenting LAKUKANLAH. Tulisanmu tidak akan jadi
selama kau tak bersedia untuk menyelesaikan tulisanmu.
Penggunaan
bahasa dalam menulis itu juga penting. Gunakanlah bahasa yang mudah
dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran ganda atau ambiguitas. Dalam
mempergunakan bahasa, pilihlah bahasa sesuai dengan usia, apakah
tulisan kita itu ditujukan untuk anak-anak, remaja, dewasa, atau umum.
Bisa juga menggunakan bahasa sesuai dengan lingkup tertentu. Begitulah.
Waktu
telah menunjukkan pukul 15.05. Mas Zulfa dengan suka rela memberikan
tiga buku untuk tiga penanya. Tampaknya, sebagai moderator saya belum
begitu mahir memanajemen waktu. Sekolah menulis sore itu berakhir tak
tepat waktu. Saya jadi teringat pernyataan yang ditulis oleh Vokal
Institute, “Di Indonesia, orang tepat waktu hanya akan sakit hati.” Satu
kalimat yang cukup menggelitik orang-orang dongkol karena tidak
menghargai ketepatan waktu. Matahari sore telah siap memayungi kami.
Kami beranjak dari tempat diskusi untuk melanjutkan konggres partai di
pondok sahabat.
Selamat menulis sahabat/i. Kutunggu tulisanmu serupa tulisanku ini. MENULISLAH SAMPAI KAU TAK MAMPU MENULIS. SALAM!!! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar