Oleh : Bintang Widya Senja
Di kala senja itu, kehidupan baru telah terpamerkan. Kelahirannya
sanggat tidak di harapkan, karena hanya membawa aib bagi keluarganya
kelak. Ketika ia lahir, terjadi pemberontakan antara warga dengan
kakeknya, yang kebetulan adalah ulama yang sangat di agung agungkan di
desanya.
“ Mana bukti dari omonganmu? Bisanya ceramah
saja, tapi anaknya sendiri yang melakukan perzinahan itu! Sungguh
memalukan! ”“ Usir mereka dari kampung ini, mereka hanya membawa sial untuk kita semua”
“ Usir mereka usir...!!” teriakan warga semakin keras, hampir menyaingi mak inem sang dukun beranak yang membantu kelahiran anak ulama itu.
Aiza terus berteriak kesakitan, ia tak kuasa menahan sakit yang ia rasakan. Bayi di dalam kandungannya seperti tak mau keluar dari rahimnya. “ Ibu, aku tak mau keluar jika hanya membuatmu malu, biarkankanlah aku tetap di sini ataupun lahirkanlah aku dalam keadaan tak bernyawa” itulah mungkin yang ingin di katakana janin jika ia bisa berbicara.
Sembilan bulan ia mengandung, sembilan bulan itu pula ia merana, empat bulan awal ia merasakan gerak janin dalam rahimnya itu. “ Tuhan telah memberinya nyawa, mana mungkin aku melenyapkanya begitu saja?” ia berusaha menguatkan imannya dan berusaha mempetahankan janin yang ada di rahimnya saat itu. Ia baru sadar betapa sulitnya menjadi seorang ibu.
Vaginanya mulai terasa sakit, misteri kelahiran tergambar jelas saat itu, bagaiman perjuangan seorang ibu bersusah payah, dan rela mengorbankan hidupnya demi melahirkan anaknya, betapa agungnya allah telah menciptakan sebuah nyawa baru untuk mengisi hidup ini. Tangan mak inem dengan piawai membantu mengeluarkan sang bayi dari rahim Aiza. Suara tangisan bayi terdengar begitu nyaring. Bayi perempuan mungil yang masih bergalut darah segar keluar dan di perlihatkannya tanda menyesal telah di lahirkan di dunia ini. Sang cabang bayi it terus menangis, mungkin ia menangis karena lapar ingin segera minum asi ataupun ia menyesal telah di lahirkan di dunia ini jika hanya membuat keluarganya malu.
Aiza sebenarnya malu telah beranak tanpa seorang suami yang mendampinginya. Ia sadar ia pernah melakukan kesalahan yang fatal, kesalahan yang telah menghilangkan kesuciannya, kesalahan yang telah merenggut kebahagiaan di masa remajanya, dan kesalahan terbesar yang pernah ia perbuat karena menghancurkan nama baik keluarganya, sebagai keluarga yang terpandang dan terhormat.
Jika ia mengingat kejadian dua tahun silam, ia ingin menangis bahkan ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri, namun ia sadar setiap hembusan nafasnya itu berharga dan ia tidak akan mati sebelum tuhan sendiri yang mencabut nyawanya.. Ilham lelaki yang menurutnya sholeh dan baik akhlaknya, ternyata telah merusak moral dan kesuciannya. Sekarang laki-laki itu pergi entah kemana. Ia sempat mendengar berita bahwa Ilham kekasihnya itu telah meninggal di tanggan pamanya sendiri. Ia di bunuh karena telah menodai keponakan perempuan satu-satunya itu. Sebelum akhirnya pamanya juga meninggal dalam kejadian itu.
Pemberontakan para warga mulai berangsur tenang, lantunan adzan maghrib telah berkumandang, seiring perginya para warga satu per satu dari singgasananya itu. Keadaan di luar mulai tenang. Abahnya yang seorang ulama itu telah mengambil sebuah keputusan yang dapat meyakinkan para warga itu.
“ Baik, baiklah! Jika kalian semua menginginkan anak saya keluar dari desa ini, tapi tunggulah sebentar setelah anak saya kembali sehat. Di mana hati nurani kalian? Di saat saudaranya sendiri di landa musibah kalian malah memberontak, kami tau apa yang di lakukan putri kami itu salah, namun kejadian itu tak bisa terhindarkan lagi. Kamipun merasa kecewa sama seperti para warga semua. Namun setidaknya para warga semua dapat berpikir lebih jernih lagi, jangan main hakin sendiri. Saya akan menyuruh putri saya pergi dari desa ini setelah ia sembuh. Kalian semua dapat memegang omongan saya ” perkataan itu keluar begitu saja dari mulut abah Iman, semua warga langsung diam dan satu persatu mulai meninggalkan rumahnya itu.
“ Kenapa tak ada satupun yang mau mengadzani putriku?” pikir Aiza.
Sudah hampir tiga jam semenjak kelahiran anaknya, tak ada satupun dari keluarganya yang masuk ke kamarnya, bahkan hanya untuk nenengok bayinya, menanyakan kedadannyapun tak ada. Ia tak henti hentinya menitihkan air mata, ketika melihat sesosok bayi mungil sedang tertidur lelap di dalam pelukannya. Perlahan demi perlahan ia lantunkan adzan di telinga bayinya itu. Ia tak butuh seorang imam, iapun bisa melakukanya sendiri, walaupun sebenarnya itu bukan kewajibanya. Sebentar lagi ia akan menjabat sebagai orang tua tunggal.
“ Abah jangan mengutamakan kehendak abah sendiri!, Aiza itu anak perempuan kita satu satunya, tidak mungkin kita melepasknanya begitu saja. Sembilan bulan umi mengandungnya, merawat dan membesarkanya penuh dedikasih, umi tidak bisa melepaskannya begitu saja bah...!”
“ Tapi anak kita sudah melakukan kesalahan yang besar mi, sesuai janji abah kepada warga, abah akan tetap mengusir Aiza dari rumah kita”
“ Tapi bah...” ucap uminya sekali lagi membela anaknya itu
“ Biarkan anak kita pergi, itu hukuman yang pantas untuknya, biarkanlah dia lebih menghargai hidup ini. Mungkin dengan ia lepas dari keluarga, Aiza akan mendapatkan pelajaran yang berharga kelak”
“ Tolong di pikirkan lebih matang lagi perkataan abah tadi, Aiza itu masih terlalu muda bah, untuk memulai hidup baru dengan anaknya. Ia masih harus banyak belajar banyak hal tentang merawat seorang bayi itu.”
“ Keputusan abah sudah bulat mi, Aiza sudah keterlaluan” umi sudah kehabisan akal untuk meyakinkan suaminya itu, bahwa apa yang ia lakukan itu salah. Jika abah sudah bertekad, tidak ada satupun orang yang bisa meruntuhkannya.
Percekcokkan kedua orang tuanya itu sempat ia dengar. Hatinya tersa teriris-iris, perih yang ia rasakan sangat menyumpal di dadak. Isak tangis ibunya menambah hatinya semakin menjerit. Ia benar-benar menyesal telah bodoh melakukan semua itu. Tapi sesungguhnya ia tidak bodoh tapi telah di bodohi.
***
Tiba saatnya lah ia harus melangkahkan kakinya, keluar dari pesinggahan yang telah memberikanya perlindungan selama delapan belas tahun ini. Seorang bayi perempuan yang masih merah dan masih berbau anyir berada dalam gendongannya. Ia tak tau kemana ia harus menginjakkan kakinya, tak ada tujuan sama sekali. Ia hanya membawa sebuah tas hitam yang ia jinjing yang hanya berisi bajunya dan bayinya itu. Serta uang limapuluh ribu rupiah yang berada di saku celananya. Cukupkah uangnya itu untuk hidupnya kelak? Tak mungkin, itu hanya cukup untuk hidup sehari saja.
Angin malam sayup-sayup menerpa raganya, membuat bayi yang berada di dalam gendongannya mengigil kedinginan. Ia berjalan tanpa tau arah, ia hanya memcoba menuruti mata hatinya.
Pernah terlintas di pikirannya, untuk meninggalkan bayinya itu di depan rumah orang, namun ia masih punya hati, dan mengingat perjuangannya saat melahirkan, ia pun mengurung niatnya itu. Anak adalah anugrah terindah yang di titipkan tuhan, maka memang benar selayaknya kita harus merawatnya penuh dengan kasih sayang.
Langkah kaki dan mata hatinya membawa ia menuju ke sebuah rumah yang bertuliskan “ Panti Assuhan Kasih Bunda” mungkin di sinilah ia akan tinggal bersama orang-orang yang senasib dengannya, orang-oarang yang terlantar. Beberapa kali ia mengetuk pintu, namun tak ada satupun yang membukakan pintu itu untuknnya. Perlahan pintu itu terbuka nampak seorang wanita paru baya sudah berada di hadapannya. “ Assalammu’alaikum...”
“ Wa’alaikum salam... ada keperluan apa ya?, silahkan masuk ”
Ia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, hingga sesekali wanita parubaya yang kini ia kenal dengan nama mbak Tika itu menitihkan air mata.
“ Tinggalah di sini, kami dengan senang hati akan menerimamu”
“ Terimakasih mbak, Aiza tidak tau harus bagaimana membalas kebaikan mbk Tika”
“ Siapa nama anakmu ini?” Aiza terdiam mendengar pertanyaan itu
“ Dusta mbak?”
“ Kenapa harus Dusta?, mbak cuma mau mengingatkan, sebuah nama adalah doa untuk yang menyandang nama itu sendiri”
“ Aiza mengerti mbak, namun itulah yang di katakan abah saya ketika Aiza menanyakan nama yang baik untuk anak Aiza ini., memang saat itu pikiran abah lagi kacau, hingga ia mengeluarkan sebuah kata untuk anak saya Dusta nur jannah ”
“ Ya sudah, beristirahatlah kamu di kamar mbak saja, kamu bisa tidur disana, nanti biar mbak yang tidur bersama anak-anak ”
Dua minggu sudah ia berada di panti asuhan itu, kehangatan dari sebuah keluarga ia dapatkan di sini. Ia memang sadar ia telah beranak di luar nikah, kehamilanya itu memang dusta, begitupun juga anaknya Dusta. Mungkin itu adalah alasan kenapa abahnya memberi nama anaknya Dusta, karena ia telah beranak dalam kedustaan. Ia merasa malu pada dirinya sendiri, akibat ulahnya semuanya menjadi dusta, dan sekarang anaknyalah yang menerima kedustaan itu.
Tak adapun sedikit kabar yang ia ketahui tentang keluarganya saat ini. “ Apa yang di lakukan umi dan abah saat ini? Apa mungkin mereka masih mengingatku?”
“ Mereka tentu masih mengingatmu Za, tidak mungkin ada orang tua yang bisa se mudah itu melupakan buah hatinya sendiri”
“ Jika mereka masih mengingat ku, kenapa mereka tak mencariku?”
“ Siapa bilang mereka tidak mencarimu? Mereka pasti kuatir dengan keadaanmu sekarang, mereka saat ini pasti mencari kesana kemari untuk mencari keberadaanmu, tapi Allah belum mempertemuakan mereka dengan kamu” Aiza hanya bisa terdiam, semua perkataan yang di katakana mbak Tika benar adanya.
senja sudah tak lagi menampakkan ke elokkanya, berganti dengan temaramnya malam yang di pancari sinar anggun sang rembulan. Di gendongnya anak perempuannya itu, lantunan sholawat nabi ia nyanyikan pas telinga anaknya, hingga anaknya terlelap tidur. Senyuman pun merekah dari bibirnya ketika ia menyadari anaknya telah bertambah usia. Esok adalah tepat anaknya berusia satu bulan.
“ Kenapa kamu tega melakukan itu ke aku mas?”
“ Aku khilaf Za, aku hanya terbawa hawa nafsu”
“ Sungguh manusia biadap kamu”
“ Tak ada satupun aku pernah berniat menodaimu”
“ Tapi kenapa kamu melakukan itu? Aku tak akn pernah memaafkan mu”
“ Aiza..., tolong aku...” teriakan itu semakin keras, di lihatnya kekasihnya itu telah di seret-seret dan di bakar dalam bara api yang berkobar kobar.
“ Mas Ilham...” teriaknya, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa.
“ Astaghfirullah hal azim..., apa maksud dari mimpiku itu ya Allah?” ia tersadar dalam mimpi buruknya itu. Pikirannya semakin kacau, mimpi itu terus menghantui dirinya. Malam itu ia memutuskan untuk sholat tahajut, meminta ampun kepada Allah dan memohon kejelasan dari mimpinya itu
“ Astaghfirullah hal azim...,” jeritnya ketika mendapati anaknya sedang kejang- kejang. Tak ada yang dapat ia lakukan, karena saat itu ia memang tidak tau apa-apa. Seluruh penghuni panti panik, mereka kebingungan harus melakukan apa.
Terlambat sudah semuanya, anak manis nan cantik yang biasa berada di pelukannya, yang biasa ia cium dengan penuh kelembutan, anak manis yang biasa ia nyanyikan sholawat, kini telah kembali ke rahmattullah menghadap sang ilahi robbi dan meninggalkanya sendirian mengarungi bahtera hidup yang hina ini. “ Kembalilah anakku, jangan tinggalkan bunda...” Air matanya menetes dan dikecupnya kening anaknya itu untuk yang terakhir kali.
Tujuh hari semenjak meninggalnya anaknya itu, Aiza mulai tak sanggub lagi menjalani hidup ini. Ia nekad mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri. Sungguh tragis, kematiannya baru di ketahui dua hari kemudian. Jasadnya di temukan dalam keadaan membusuk, menggantung pada sebuah selendang ber warna merah darah. Lidahnya menjulur keluar dan matanya terbuka penuh dengan keseraman. Tak ada yang mendekati zenazah itu. Semuanya berhamburan keluar, panti asuhan itu sekarang kosong, hanya tikus, kecoa dan semut-semut kecil yang menghuninya. semua orang dipanti itu telah menelantarkan jasadnya, arwahnya tidak tenang, ia dendam pada semua orang. Kenapa tidak ada satupun yang mau mengubur jasadnya?.
Dendamnya itu tak dapat terelakan lagi ketika ia menyadari selendang merah darahnya itu hilang, hanya selendang itulah yang ia punya, dan selendang itulah yang mendekatkan dia dengan anaknya. Arwahnya kini makin tidak tenang, ia selalu berkeliaran tiap malam mencari selendangnya itu di setiap pelosok rumah-rumah.
“ A….….” jeritan itu terdengar lagi, kematian Aiza kembali menelan korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar