1

Senin, 04 Januari 2016

Cerita dalam Cerita

 Oleh: Adefira Lestari

Serupa Biksu Tong, Sun Go Kong, Tie Pat Kay, dan Wu Ching dalam film Kera Sakti, keempat orang itu tiba-tiba datang dari ujung jalan perkampungan Tugu Aren. Mereka adalah Yasin, Zuhri, Andre, dan Aklis. Keempat orang itu bermuka datar. Tak ada senyum, juga tak ada umpatan rasa sedih karena telah mampir di perkampungan yang dilanda kekeringan.

Di kampung itu, Yasin lebih akrab dipanggil Gus Yasin. Alasannya mudah saja, Mang Wiwid, penjaga masjid, menaruh kepercayaan pada Yasin untuk memberikan ceramah, memimpin tahlil, dan mengaji selepas
subuh maupun maghrib.

“Sebelum orang-orang itu datang kemari, aku pernah melihatnya di sebuah pengajian yang menghadirkan Cak Nun di alun-alun kota. Kau tenang saja. Tak usah khawatir. Dia akan ikut mengajarkan ilmu agama di kampung kita,” begitu kata Mang Wiwid saat Damas, si pemuda kampung yang mempunyai sifat curiga cukup tinggi, mencoba meluruhkan hati Mang Wiwid.

Tugu Aren merupakan sebuah perkampungan termiskin di pinggir kota. Tak semua penduduk mampu mengalirkan aliran listrik ke rumahnya. Apalagi memiliki kendaraan bermotor seharga puluhan juta rupiah. Namun, di kampung ini kerap muncul maling. Entah apa yang diincar maling-maling itu.

“Ayam, kambing, telur, sampai baju,” ungkapan Pak Huda memecahkan tanda tanya besar yang bersemayam di kepala Zuhri.

Pada malam kamis kliwon, Zuhri bergegas pulang dari rumah Pak Huda, seorang sesepuh desa yang tinggal di dekat sungai. Malam itu, Zuhri sendirian. Ia datang ke rumah Pak Huda untuk mengantarkan ubi. Tadi siang, Zuhri dimintai tolong untuk membawakan ubi jalar yang tumbuh di kebunnya. Di antara empat orang yang datang tiba-tiba di perkampungan Tugu Aren, memang Zuhri-lah satu-satunya orang yang memiliki keberanian cukup tinggi. Ketika hendak pulang sewaktu melintasi rumah Pak Toha, Zuhri melihat semacam bayangan yang berkelebat di belakangnya. Seketika itu, Zuhri memejamkan mata. Memfokuskan indera keenamnya pada bayangan yang muncul di dekatnya.

“Jia! Plak! Plak! Plak!” Zuhri memukul habis maling yang telah berhasil menggondol telur ayam milik Pak Toha.

Pak Toha sekeluarga tergeregap. Mereka keluar beriringan. Pak Toha dan istrinya, Mustaqimah, masih melek merem. Disusul oleh kedua anaknya, Mega dan Sigit.

“Ada apa, Nak Zuhri?” Pak Toha bertanya tanpa melihat suasana di sekitar. Maklum, nyala obor malam itu tak sebegitu terang dibandingkan jika baru diisi minyak tanah.

“Itu, Pak.” Zuhri menunjuk pada seorang lelaki yang mengerang kesakitan di bawah pohon waru.

“Oooalaaah. Sontoloyo.” Pak Toha terlihat mendatangi maling itu lalu memoles kepalanya. “Ternyata selama ini kamu ya yang mencuri telur ayamku? Pantas saja telur ayam di kandang ayamku tak bertambah-tambah. Malah berkurang. Kukira ayamkulah yang bermasalah lantaran beberapa waktu lalu anak-anakku memberinya pil KB yang diberikan petugas kesehatan kepada istriku.”

Selepas menyerahkan maling itu pada Pak Toha, Zuhri langsung bablas ke sebuah pondok. Pondok Sahabat namanya. Pondok itu dibangun atas kerjasama orang-orang serupa utusan sebuah perguruan untuk mencari kitab suci.

Pagi menjerang embun agar segera kering dari ujung-ujung daun talas di kebun Pak Arifin. Pak Arifin adalah orang paling kaya di perkampungan itu. Ia merupakan lurah di kampung itu. Hanya dialah yang mampu mengalirkan aliran listrik di rumahnya. Kehidupannya bersama Bik Mufida, memberikan dua orang putri cantik, Anik dan Umi.

Anik berperangai halus, lemah lembut, tapi tidak pandai bergaul. Ia lebih suka berdiam diri di rumah ketimbang sobo seperti adiknya, Umi. Anik dan Umi hanya selisih dua tahun. Wajar saja kalau keduanya jalan bersamaan, orang yang tak tahu akan mengiranya putri kembar.

Pada suatu ketika, Andre berniat mengambil air di sumur yang tak jauh dari kebun Pak Arifin. Ia membawa dua ember hitam. Andre begitu cepat menimba air dalam sumur tanpa selontong itu. Dua ember begitu cepat ia penuhi. Akan tetapi, ketika akan membawa ember-ember itu, mendadak Andre terjatuh. Pesona Anik telah meluluhkan relung jiwanya. Anik menunduk melewati Andre. Rambutnya terkepang memanjang di dadi kiri. Andre kesulitan enyah memandangnya.

“Oh. Siapakah gerangan perempuan itu? Sudah hampir dua bulan di sini, aku baru mendapatinya sekarang. Oh. Cinta memang bisa datang tiba-tiba tanpa siapapun menduga,” batin Andre seraya memandang Anik hingga hilang di balik rumput ilalang.

Hari semakin sore. Aklis mulai mengerjakan pekerjaannya. Menyapu halaman dan membersihkan Pondok Sahabat. Kabarnya, besok mereka harus kembali ke tempat asal karena tugas mengabdi kepada masyarakat sudah selesai. Aklis terlihat sangat rajin. Di antara empat orang itu, memang hanya Aklis yang mencintai kebersihan.

Sebelum meninggalkan perkampungan, keempat orang itu dikumpulkan di kelurahan bersama warga Tugu Aren. Mereka berkesempatan untuk menyampaiakan pesan kepada sejumlah warga yang hadir.

“Perbanyaklah belajar ilmu agama. Mang Wiwid, setelah saya pergi nanti, tolong anak-anak ini diurus baik-baik,” pesan Yasin sebelum ia menitikkan air mata. Di ujung tempat duduk, Mang Wiwid tampak mengangguk-angguk.

“Keamanan di kampung ini harus diperketat. Saya yakin, dedengkot maling yang kerap bertandang ke sini tak akan tinggal diam melihat anak buahnya selalu babak belur kena pukul tangan saya.” Nada bicara Zuhri serasa seperti orang mendeklamasikan proklamasi. Tangannya naik turun mengikuti nada bicaranya yang khas.

“Dari dulu, cinta itu memang menyakitkan. Cinta, derita tiada akhir. Belum pernah sekalipun saya mendapatkan cinta sejati. Termasuk cinta saya kepada anak Pak Lurah. Ihik. Ihik.” Sementara dua temannya tadi bersemangat menyampaikan pesan kepada warga, Andre malah merengek karena ia harus segera pergi sementara cintanya pada Anik belum sempat terbalas.

“Sudah. Sudah.” Aklis tampak menenangkan Andre. “Saudara-saudara, Bapak Ibu. Kebersihan itu sebagian dari iman. Maka dari itu, jagalah kebersihan lingkungan. Oh ya, itu. Em.. itu… Jika ingin buang sampah itu, buanglah sampah di tempat sampah yang telah disediakan. Jangan mempersulit diri menunggu tumpukan sampah menggunung itu baru membereskannya,” Aklis tampak gugup. Kata refleks yang ia ucapkan saat dia terpuruk atau bergetar saat bicara ialah pengucapan kata ‘itu’ yang diulang-ulang.

Esok ini adalah hari kebebasan bagi keempat orang serupa utusan perjalanan ke barat mencari kitab suci. Begitulah mereka, keempat orang dengan sifat yang berbeda. Yasin dengan kelihaiannya mengajarkan ilmu agama, Zuhri dengan kemahirannya bermain silat, Andre dengan kegelisannya tentang cinta, dan Aklis dengan kerajinannya membersihkan lingkungan. Keempat sifat ini merupakan cerminan sifat manusia dalam satu jiwa. Ilmu, motivasi, kasih sayang, dan juga keinginan untuk selalu membersihkan diri. Begitulah kisah kawanan empat laki-laki yang beranjak kembali ke kediaman masing-masing dengan takdir dan nasib yang berbeda. *Cerita ini hanyalah fiktif belaka, tapi dengan tokoh sebenarnya. Hehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar