Oleh: Adefira Lestari
Selasa kemarin (13/08), saya dan sahabat/i PMII IKIP di Pati
mengadakan halal bihalal ke rumah beberapa alumni dan senior. Jadwal
semula dimulai pukul 07.00 berkumpul di rumah Umi di depan JWF Batangan.
Namun, karena berbagai alasan yang dikemukakan Ketum, acara diundur
sampai pukul 08.30.Sedikit mengurai cerita. Pukul 06.30 saya sudah siap-siap untuk berangkat. Mukena, dompet, tisu, beserta teman-temannya sudah tertata rapi di dalam tas orange. Tapi, sms yang saya kirim ke Efa sejak subuh tidak ada balasan.
Saya sangat yakin. “Pasti nggak ada sinyal.”
Huh. Saya sedikit was-was. Jangan-jangan Efa mengurungkan niat untuk ikut. Segera saja saya sms Mega untuk membantu saya mengirim pesan kepada Efa. Alhasil, sekitar 25 menit berselang, motor merah sudah terparkir di halaman rumah. Lengkap dengan pemiliknya berjaket hitam dan kerudung cream. Di kursi tempat saya menunggu, dia telah mengalihkan perhatian saya yang
sedang berkutat memainkan hape.
“Wah, jadul. Pantesan sms-ku tak terbalas. Ternyata sedang nyetir.”
Tanpa pikir panjang, saya segera memakai seluruh perlengkapan mbolang. Iyak. Iyak. Efa sudah siap di belakang dan saya sudah siap tancap gas di depan. Ngung!!
Tiga puluh menit berlalu. Saya dan Efa sudah tiba di rumah Umi. Dan Anda tahu apa yang terjadi? Saya dan Efa menjadi peserta pertama yang sampai di rumah Umi. Kenapa harus begini? Di Semarang pun demikian. Saat ada rapat di wisma, saya selalu menjadi peserta pertama yang datang. Mudah-mudahan pula, kelak saya menjadi orang pertama yang akan selalu dirindukan. Haha
Di rumah Umi, kami menjumpai kedua orangtua dan adiknya. Sambil menunggu sahabat/i lain datang, kami mencicipi kue sisa lebaran yang berjajar di meja. Selain itu, sementara Umi ganti baju, kami juga ditemani oleh sebotol sprite. Hm… Nyam. Nyam.
Beberapa waktu berlalu. Mbak Rista dan Yasin telah tiba. Kemudian disusul oleh kehadiran Mega, Toha, Ketum, dan ada satu lagi. Anda tahu siapa dia? Ya, betul. Suatu kehormatan dari Aklis yang telah meluangkan waktu dari Kudus ke Pati untuk ikut acara ini.
Semua telah berkumpul. Kami bersembilan langsung berbenah untuk cap cus ke rumah Efa di Jaken. Dari rumah Umi ke arah Timur lalu ada pertigaan belok kanan. Setelah sampai Pasar Ngulaan, ke kanan, lurus dan belok kiri melewati persawahan. Terik tak jadi kendala. Meski panas tetap bablas. Jalanan berbatu dan terjal. Kami harus ekstra hati-hati. Berkali-kali, Yasin tertinggal di belakang. Entah karena motor yang di depannya melaju terlalu cepat atau karena jalannya yang kurang JOS.
Kami pun lega. Dengan peluh yang masih mengucur dari tubuh, kami tiba di rumah Efa. Adem. Nyes. Di sana, Efa dibanjiri celotehan sahabat/i tentang jalan yang selembut pasir. Gelak tawa pun pecah memenuhi ruang tamu. Perut kami kelu.
Setelah rasa capek sedikit berkurang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Jakenan. Tenang. Tenang. Jangan iri . Memang kenyataannya Jakenan lebih modern daripada Jaken. Hehe. Baiklah. Jalan menuju rumah saya mulus-mulus saja. Setelah menyapu jalan selama 20 menit, tibalah di gubuk orangtua saya di Dukuh Kemiri Tanjungsari.
Beberapa motor terparkir di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Tidak seperti di rumah Efa yang suka duduk di kursi. Di rumah saya, sebagian malah duduk di bawah. Ya, di rumah saya memang kekurangan kursi.
Kunjungan selanjutnya menuju Pucakwangi ke rumah alumni kami, Mas Rofiq dan Mbak Durotun. Jalan sudah mulus. Gas motor melaju dengan semestinya, 60-80 km/jam. Setelah melewati pasar Soko Puluhan belok kiri, belok kanan melewati tanaman tebu dan belok kiri lagi setelah pohon besar di pertigaan jalan, sampailah kami ke rumah yang di tuju.
Di sana, ketum mendapat julukan super keren. KETUM STYLIESH ALA BOYBAND KOREA. Kami kembali terbahak. “Sejauh ini, baru kali ini ada Ketum PMII IKIP se-styliesh Zuhri.” Ungkapan Mas Rofiq menambah kekocakan siang itu. Celana jeans orange, syal dan jaket abu-abunya tiba-tiba menjadi pusat perhatian.
Sepiring kelengkeng telah lenyap, tinggal beberapa butir jeruk di dua piring putih dan bermacam kue sisa lebaran. Mas Rofiq mengajak kami foto. Jepret. Jepret. Eksen. Satu. Dua. Tiiii….dak jadi. Begitulah kira-kira. Kalau dipikir-pikir, ini adalah trik Mas Rofiq untuk menghilangkan kejenuhan kami kala menunggu kepulangan Mbak Durotun. Haha. Tapi tidak apa. Kami juga suka foto kok. Ketularan Mega dan Umi.
Selesai foto, kami diajak makan. Waw! Alhamdulillah. Toha senangnya minta tambah.
“Rejeki, Mbak.” Dia duduk di depan saya, tangan kirinya menyangga piring dan tangan kanannya memegang krupuk.
Perut telah kenyang. Sejenak menunggu makanan kami mengendap di perut, Mbak Dur telah pulang. kami langsung berjabat tangan dengannya dan berkemas melajutkan perjalanan.
Pukul 12.10 kami diba di rumah Mbak Rista. Di sana ada es lilin. Ada juga siwalan. Toha adalah personil paling senang dengan momen ini. Haha. Baiklah menuju rumah Yasin. Lagi-lagi, di sana kami disuruh makan.
“Alhamdulillah, Mbak.” Toha kembali menjadi pelopor pertama pengambilan piring. Dia terkikik setelah sepiring ikan layar berjajar di sebelahnya.
Perjalanan jauh akan segera kami tempuh, ke rumah Mbak Fida di Gembong. Kami bersiap. Sayangnya, kaos tangan saya menjadi korban, hilang sebelah. Hal ini tidak akan terlupakan, Yasin.
Motor sudah siap, tapi motor Efa tiba-tiba kekurangan udara. Kami mampir ke bengkel sebentar untuk memompanya. Oke. Siap meluncur. Set. Set. Set. Dengan lincahnya, Toha memimpin perjalanan kami. Bersama Mega, dia begitu lihai menyalip beberapa kendaraan yang berlalu lebih lambat. Muluuuuuuusssssssss………
Hiyah. Sampai di pertigaan jalan, kami tak tahu arah. Selama bermenit-menit, kami menunggu jemputan Mbak Fida. Seakan tak mau kehilangan waktu dan momen, kami berfoto-foto lagi. Maklum. Wajah-wajah narsong.
Mbak Fida telah tiba. Perlahan-lahan, kami mengikutinya. Mula-mula jalan yang kami tempuh mulus-mulus saja, lama kelamaan jalanan bertambah sempit, berliku, dan naik turun. Uwow! Alamak! Kayak main ayunan.
Glodak. Glodak. Glodak.
Bunyi aduan batu-batu kecil dengan ban motor yang melesat, berloncatan di antara deru motor. Kami melewati puluhan pohon jati dan pohon besar lainnya. Di salah satu sisi, terdapat semacam jurang. Uji nyali, bok. Kalau diingat-ingat, rupa-rupanya jalanan menuju rumah Efa merupakan tryout sebelum melalui jalanan ke rumah Mbak Fida. Hee
Sebuah perkampungan sudah tampak. Di rumah ujung pojok, Mbak Fida memberhentikan motor yang ditumpanginya. Suasana sejuk. Asri. Adem. Berbagai tanaman tumbuh subur di pelataran dan sekitar rumah.
“Pantas Mbak Fida ngambil jurusan Biologi. Ternyata ini alasannya. Ada banyak tumbuhan di rumahnya. Hehe,” Ungkapan salah satu personil halal bihalal lagi-lagi membuat kami terbahak.
Sebaskom es degan tinggal kuah. Kami langsung menyantap gado-gado yang disajikan Mbak Fida. Wah, super! Kalau dihitung-hitung, hari itu kami makan empat kali ditambah sarapan dari rumah. Kenyang.
Adzan ashar telah lama berkumandang. Cahaya di langit barat sudah mulai meredup. Kami bergegas pulang. Melewati jalan yang sama, kami lebih hati-hati menyusurinya, mengingat gurat-gurat wajah kami sudah menunjukkan kecapekan dan kengantukan yang tak terukur. Rencana ke rumah Mega pun gagal. Alasan lain ialah, motor Efa bocor di tengah jalan. Aklis dan Ketum sudah berlalu. Katanya mau ke Kudus. Tapi, entahlah.
Dengan raut wajah kecewa, Mega berlalu diantar pulang oleh Toha. Umi dan Yasin menemani saya dan Efa yang sedang merana karena candaan motor Efa. Sambil ngobrol ngalor ngidul, proses penambalan ban selesai.
Kami berempat berlalu melewati jalan pantura. Umi dan Yasin ke Batangan, saya dan Efa ke arah Jakenan dan Jaken. Lampu-lampu motor bersilauan. Lalu lalang motor pun semakin ramai. Menjelang pukul setengah tujuh, kami baru tiba di rumah.
Demikianlah cerita PMII IKIP episode Lebaran…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar